Mematahkan Tradisi Keluarga

Merapatnya kapal-kapal Indonesia

Ciok Cibro dibesarkan di Singkil, sebuah kota pesisir kecil di Indonesia. Ciok dan keluarganya tinggal bersama neneknya, yang hidup dengan bibir sumbing yang tidak dioperasi selama hidupnya. Ciok mengenang, "Saya sangat menyayangi nenek, tetapi waktu bersama kami selalu dihabiskan di dalam rumah. Ia merasa malu dengan bibir sumbingnya dan terisolasi dari masyarakat di sekitar kami."

Ciok duduk bersama anaknya Aldan

Pada 2007, Ciok bekerja sebagai petani padi sementara mengandung anaknya yang ketujuh. Ia dan suaminya gembira sekaligus khawatir menanti kelahiran sang anak karena mereka hidup dengan upah setara $2 (sekitar dua puluh tujuh ribu rupiah) per hari. Pada hari persalinannya, Ciok heran saat menyadari kamar bersalinnya di rumah sakit menjadi benar-benar hening, dan dokter dengan ragu menyerahkan bayi itu kepadanya. Putranya, Aldan, terlahir dengan bibir sumbing, sama seperti nenek Ciok.

"Setelah dikaruniai enam anak-anak yang sehat, saya tidak menyangka akan melahirkan bayi dengan bibir sumbing. Dan saya tidak ingin Aldan menghadapi pergulatan hidup seperti yang dihadapi nenek saya. Namun, setelah merenungkan sejenak dan berdoa, saya menyimpulkan bahwa saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus menerima anak saya dan berusaha melakukan yang terbaik yang kami bisa." jelas Ciok.

Sikap positif Ciok akan sumbing yang diderita Aldan melemah ketika sang anak tersedak setiap kali Ciok mencoba menyusuinya, dan berat badan putranya mulai turun. Syukurlah, seorang perawat di klinik setempat mengajarkan Ciok cara memindahkan susunya ke sendok. Dengan demikian Aldan bisa diberi makan tanpa tersedak. Berat badannya bertambah dan ia menjadi sehat.

Aldan tersenyum sambil memegang foto dirinya sebelum operasi sumbing

Selama 10 tahun berikutnya, Aldan hidup dengan bibir sumbing yang tidak dioperasi, sama seperti nenek buyutnya. Semuanya berubah ketika Rahmat Maulizar, seorang mantan pasien Smile Train, datang secara tak terduga ke Singkil. Rahmat adalah pekerja sosial di Rumah Sakit Malahayati yang menjadi mitra Smile Train dan dipekerjakan untuk berkeliling di daerah itu menggunakan mobil van dengan perlengkapan khusus. Ia menyebarluaskan informasi mengenai Smile Train yang membantu operasi sumbing.

Rahman Maulizar tersenyum dan meletakkan tangannya di atas van Smile Train miliknya

Penduduk Singkil melihat mobilnya dan memberitahu Rahmat perihal Ciok dan Aldan. Sewaktu mengunjungi keluarga Cibro di kediaman mereka, Rahmat menawarkan diri untuk membawa mereka berkendara selama 13 jam menuju Banda Aceh, tempat Aldan bisa menjalani operasi gratis. Setelah sepuluh tahun menunggu, Ciok dan Aldan mengambil kesempatan itu dan mereka berangkat.

Ciok tersenyum bersama putranya Aldan

Begitu mereka tiba di Rumah Sakit Malahayati, Ciok berkata, "Saya tidak tahu kalau operasi sumbing itu memungkinkan, lantas dr. Muhammad Jailani dan Rahmat menjelaskan dengan baik segala sesuatu yang akan terjadi dan memberitahu kami bahwa setelah keluar dari sini Aldan bisa hidup seperti anak-anak yang lain."

Aldan tersenyum dan meletakkan kedua tangannya di pipi usai operasi sumbing

Aldan mendapatkan senyumnya yang langgeng dan dibawa ke ruang pemulihan. Ia memandang dirinya di cermin dan berkata, "Kakak-kakakku tak akan mengenaliku, aku terlihat seperti orang lain." Lalu Ciok menangis dan berkata, "Nenek saya tak pernah mendapatkan kesempatan seperti ini, tetapi saya bersyukur karena Aldan akan memiliki masa depan yang cerah. Saya ingin dia memperoleh pendidikan yang baik dan menjadi dokter Smile Train."

Aldan tersenyum dan memegang foto dirinya sebelum operasi sumbing

Operasi Aldan telah membuka masa depan baru, suatu masa depan yang membuat dia berkesempatan untuk berbicara di dalam kelas dengan percaya diri, berpacaran, mencari pekerjaan, dan memenuhi kebutuhan keluarga.